Hujan Itu Anugrahh Looo.
tapi terkadang ada saatnya kita gk mau adanya HUJAN.
tapi terkadang ada saatnya kita gk mau adanya HUJAN.
Menunda Hujan Metode
Tradisional Sederhana
yang
di gunakan untuk menolak atau lebih tepat menunda dan mengalihkan hujan model
tradisional, kadang sangat menggelikan. Namun kenyataannya berpeluang 75%
sukses. Katakanlah 4 kali melakukan, 3 kali akan berhasil. Biasanya di gunakan
apabila seseorang sedang mempunyai hajat besar, dan takut terganggu oleh hujan.
Cara yang di gunakan sangat banyak ragamnya dan bersifat kedaerahan. Dari
budaya Jawa, ada beberapa yang populer yakni, dengan:
- Melemparkan celana dalam calon mempelai ke atas genting.
- Mendirikan sapu lidi dengan ditusuk cabai merah dan bawang merah.
- Mendirikan sapu lidi dengan rapalan dan doa secara kejawen.
- Menyiramkan garam di sekeliling rumah
- Membacakan Mantra-mantra atau doa-doa
- dll
Tidak
tertutup kemungkinan penggunaan daya linuwih untuk menolak atau menyingkirkan
hujan, misal dengan puasa dan matiraga serta bentuk keprihatinan lain seperti
istiqotsah. Namun sehubungan dengan bahasan penggunaan Energi Prana, maka hanya
cara tradisional sederhana saja yang kami sampaikan, sebagai pembanding dan
pendamping.
Cara tradisional 1;
Dengan
melemparkan celana dalam calon mempelai wanita oleh mempelai wanita itu
sendiri. Ini di maksudkan untuk menunjukkan keprihatinan dan harapan pada Sang
Khalik Semesta Alam, akan kepolosan dan kepasrahan bahwa hanya Yuhan yang akan
mengabulkan harapan agar tidak hujan, pada saat pesta perkawinannya. Dengan
dilempar ke atas genting, diharapkan air membalik ke atas dan tidak jadi turun.
Sama hakikatnya seperti kepercayaan bahwa gigi bawah yang putus, harus selalu
tumbuh ke atas, maka dilempar mengarah ke atas yakni ke genting, sedang gigi
atas yang lepas ditanam atau dibuang ke bawah, agar cepat tumbuh mengarah lurus
ke bawah.
Cara tradisional 2;
Yaitu
penancapan lombok dan cabai merah pada ujung sapu lidi “gerang” ( sapu lidi tua
yang sudah aus terpakai) yang didirikan terbalik. Penggunaan ini tanpa harus
berdoa maupun membacakan rapal atau kata-kata sakti. Bila ditanyakan pada
sebagian besar orang yang melakukan, maka jawabnya singkat saja, yakni biar
pedas dan panas sehingga tidak jadi turun hujan. Ditinjau secara konsep Prana,
maka lidi yang diberi bawang merah dan cabai merah banyak mengadung Prana
Merah, yang bersifat hangat, memperluas, memperlebar mendung hitam tebal
menjadi tipis karena diperlebar dan bersifat konstruktif. Dengan demikian
mendung yang menggelantung, jadi pudar dan gagal turun menjadi hujan. Suasana
jadi konstruktif dan melegakan. Hakikatnya sama dengan cara mengusir tamu yang
sangat membosankan dan tidak kunjung pulang. Hal ini banyak dilakukan
gadis-gadis Jawa yang dikunjungi oleh para jejaka di malam minggu yang tidak
disukai namun tidak berani mengusirnya, atau bila sudah terlalu malam dan
berkecenderungan tidak segera pulang.
Dengan
cara menggunakan “munthu” atau batu pelumat, uleg sambal pada cobek dan
mengacungkannya serta memperagakan seperti menggilas lombok dan bawang merah,
memutar kekiri, dari bilik atau ruangan lain dan mengarah ke sang tamu yang
bandel. Dalam waktu 5 sampai 7 menit tamu tak dikehendaki itu akan segera
permisi pulang. Tentu yang menjadi pertanyaan mengapa tidak mengacungkan dan
memutar senduk es atau senduk sayur saja. Mungkin Anda bisa menjawabnya?
Cara tradisional 3;
Yakni
dengan menggunakan sapu lidi yang didirikan terbalik, namun sapunya dibuka
selebar-lebarnya. Bila perlu diikatkan pada tonggak, sehingga tidak jatuh. Bila
jatuh maka hujan tidak akan turun. Setelah sapu dipasang terbalik menghadap ke
langit, sambil ikatan sapu dipegang erat-erat dengan tangan kanan, sambil
mengucapkan doa dengan mantap sebagai berikut:
“Niat ingsun ora ngedekake sapu biasa, nanging sapu jagad kanggo
ngresiki mendhung, udan lan angin saka daerah …. dibuang menyang …., sawetara
suwene wektu 3 jam, saking kersaning Allah ingkang murbeng jagad.”
[“ Niat saya tidak mendirikan sapu biasa, tetapi sapu jagad yang
berguna untuk menyapu semua mendung dan hujan di atas…. (nama daerah, kota,
kecamatan yang ditolak hujannya) untuk jangka waktu .… jam, dipindahkan ke
daerah … yang membutuhkan hujan. Ini semua terjadi, karena berkat Allah”].
Cara
yang ketiga ini banyak kami gunakan, sebelum mengenal energi Prana. Yang kami
warisi dari ibu yang berasal dari keluarga petani. Apabila sedang menjemur padi
seusai panen, atau bila mempunyai hajat atau sedang melakukan kegiatan luar
ruang dan khawatir terganggu oleh hujan yang turun, padahal mendung sudah gelap
dan datang berarak-arakan. Peluang keberhasilannya sangat besar, yakni
mendekati 95 % ( dari 20 kali melakukan, hanya 1 kali gagal). Yang terpenting,
sapu tetap mengarah ke atas, dan lidi-lidinya membuka lebar mengarah ke segenap
penjuru mata angin serta tidak jatuh. Bagi para pemula, tingkat keberhasilannya
dimulai dari 50%, dan apabila Anda sering melakukannya di musim hujan, maka
seakan-akan Anda sudah dikenal oleh semesta alam atau Sang Khalik si empunya
fenomena alam sebagai pelanggan tetap, yang layak untuk dilayani permohonannya.
Namun saat ini teknik dan tata cara-cara tradisional telah dapat diganti dengan penggunaan energi atau tenaga prana, yang lebih praktis tanpa harus menyiapkan sapu lidi ataupun cabai dan bawang merah. Sebelum memastikan Tekniknya, kami coba mengungkapkan Konsep, dengan cara pendekatan Ilmu dan Seni Tenaga Prana lebih dulu, sehingga mudah memahaminya.
Namun saat ini teknik dan tata cara-cara tradisional telah dapat diganti dengan penggunaan energi atau tenaga prana, yang lebih praktis tanpa harus menyiapkan sapu lidi ataupun cabai dan bawang merah. Sebelum memastikan Tekniknya, kami coba mengungkapkan Konsep, dengan cara pendekatan Ilmu dan Seni Tenaga Prana lebih dulu, sehingga mudah memahaminya.